Jakarta - Era digital saat ini memaksa setiap pembaca setia
media cetak mau tidak mau, walaupun dengan setengah hati, mencari tahu apa yang
terdapat pada media daring. Hal ini tidak terlepas dari imbas yang terjadi
dengan makin berkurangnya ketersediaan media cetak di pasaran. Apakah ini
karena memang sudah masanya serba digital, sehingga yang tidak digital harus
terpinggirkan atau bahkan pupus tinggal kenangan. Ataukah ini hanya sebuah
strategi bertahan yang harus dilakukan, hingga saatnya tiba nanti media cetak
yang saat ini tidak terlihat akan kembali hadir memenuhi dahaganya pembaca
setia akan informasi yang selalu dicari dan dibutuhkan melalui media cetak.
Memang ada masanya media cetak di Indonesia tumbuh
dan berkembang cukup baik. Pada masa itu beragam surat kabar, majalah, maupun
tabloid bermunculan. Terutama di saat era reformasi bergulir, ketika kebebasan
pers menjadi keinginan yang tak terbendung. Peristiwa yang menandainya adalah
dengan dicabutnya aturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang kemudian
diikuti dengan munculnya berbagai perusahaan pers baru. Selanjutnya adalah
dihapuskannya Departemen Penerangan, dengan tujuan agar pers bisa leluasa
melaksanakan kegiatan jurnalistiknya. Terakhir dan menjadi yang terpenting
adalah dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Undang-undang ini merupakan tonggak awal kebebasan pers di Indonesia.
Sejak saat itu pertumbuhan dan perkembangan media
cetak cukup pesat. Berdasarkan data dari Dewan Pers, terdapat 567 media cetak
selama tahun 2014. Jumlah ini meningkat sebanyak 158 media cetak dibandingkan
tahun 2013 yang totalnya adalah 409. Peningkatan yang sangat terlihat ada pada
koran, dari sebelumnya 215 menjadi 311, berarti sisanya adalah majalah dan
tabloid. (Kominfo, 2013).
Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) memiliki
catatannya sendiri. Sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Perpusnas
mengemban tugas melestarikan setiap hasil karya anak bangsa, termasuk di dalamnya
media cetak. Direktorat Deposit dan Pengembangan Koleksi Perpustakaan sebagai
unit kerja yang bertugas menghimpun seluruh bahan perpustakaan yang pernah
terbit di Indonesia mencatat bahwa pada tahun 2012 media cetak khususnya
majalah cetak yang diadakan sebanyak 384 judul. Pada tahun berikutnya yaitu
tahun 2013 jumlahnya bertambah menjadi 472 judul. Namun, seiring perjalanan
waktu dan makin berkembangnya teknologi digital saat ini, tercatat majalah
cetak yang masih aktif dan bertahan pada tahun 2021 hanya sebanyak 35 judul.
Kehadiran majalah cetak saat ini mengalami
penurunan yang sangat signifikan setiap tahunnya. Hal ini tidak terlepas dari
tren yang berkembang, ketika semua hal selalu dikaitkan dengan unsur digital.
Walaupun pahit, tidak bisa dipungkiri memang bahwa media cetak sudah menurun popularitasnya.
Kehadiran media daring menjadi tantangan berat bagi media cetak untuk tetap
bertahan. Paul Gillin, seorang konsultan teknologi informasi dari
Massachusetts, yang dikutip Rahmad dalam artikelnya “Masa Depan Bisnis Media
di Era Konvergensi”, mengatakan bahwa model bisnis media cetak tidak
mungkin lagi bertahan hidup. Perkembangan ekonomi sedang bergerak melawan
bisnis cetak. Media cetak melibatkan banyak karyawan, sehingga biaya produksi
lebih mahal dari media daring. Apalagi zaman sekarang, generasi muda lebih suka
bermain internet daripada membeli majalah atau koran. (Kompasiana, 2013)
Bolehlah jika memang sekarang media cetak sedang
turun pamornya. Kenyataan ini tidak terlepas dari berlakunya hukum ekonomi yang
tidak bisa ditolak. Apapun yang memerlukan biaya tinggi harus mengalah dengan
mereka yang berbiaya rendah atau bahkan tanpa biaya. Namun demikian, walaupun
terbatas, pembaca setia media cetak tetaplah ada. Media cetak dirasakan masih
memiliki keunggulan yang tidak bisa digantikan, bahkan oleh media daring
sekalipun.
Keunggulan yang dimiliki media cetak dibandingkan
media daring dari perspektif psikologi dapat diperlihatkan pada table berikut.
MEDIA
CETAK
MEDIA DARING
Informasi yang disajikan sudah melalui proses penyuntingan oleh tim
redaksi sehingga kontennya lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Lebih mengutamakan publikasi dengan cepat sehingga kurang
memperhatikan kode etik jurnalistik bahkan terkadang salah memberikan
informasi.
Mampu mencegah informasi tidak layak dan menampilkan berita secara lebih
akurat.
Memungkin adanya kesalahan penyedia informasi sehingga menimbulkan
berita bohong (hoaks).
Kedalaman berita bisa lebih digali dan jelas.
Isi berita lebih sering hanya memaparkan apa, kapan, siapa, dan
dimana, tidak menggali bagaimana dan mengapa, karena mengedepankan berita
cepat.
Lebih memorable atau bisa dikenang karena pembacanya bisa
memegang media cetak (majalah/koran), juga bisa mengoleksinya.
Tidak ada kenangan saat membacanya karena tidak melibatkan sentuhan/aktivitas
fisik dengan media baca.
Memberikan respons emosional kepada pembacanya sehingga informasi yang
disajikan lebih mudah diproses secara mental.
Tidak memberikan respons emosional yang cukup kepada pembacanya.
Tidak mudah bagi media cetak untuk tetap bertahan
di era digital saat ini. Berbagai upaya dilakukan agar perannya sebagai
penyampai informasi bagi pembacanya tetap dapat berlangsung. Salah satu di antaranya
adalah dengan melakukan konvergensi media, yaitu bisa beradaptasi dengan media
elektronik, seperti membuat e-paper, e-magazine, radio
streaming, e-books, atau media sosial.
Khadziq dalam penelitiannya pada Koran Tribun Jogja
(2016) menyimpulkan bahwa keputusan untuk melakukan konvergensi media adalah
salah satu langkah yang tepat untuk membantu media cetak jika ingin terus eksis
dan berjuang memberikan pelayanan kepada konsumennya. Untuk dapat tetap
bertahan, media konvensional harus mempertahankan mutu dan kepercayaan atas
informasi yang disajikan. Mutu dan kepercayaan konsumen dapat dibangun dengan
membentuk jiwa profesionalisme pencari berita yang menerapkan etika jurnalisme.
Perkembangan teknologi digital memang membuat
berbagai brand media cetak berpikir kuat dan cepat untuk bisa tetap
menjaga eksistensinya. Ikut dalam mengoptimalkan berbagai platform digital
sudah jadi keniscayaan langkah yang mesti ditempuh, tapi bukan berarti juga
harus mematikan model usaha berbasis majalah cetak.
Menurut Dwi Sutarjantono, Pemimpin Redaksi Esquire
Indonesia, strategi yang diterapkan adalah memperkuat kedua lini produk, baik
digital maupun majalah cetak. Sementara itu Petty Fatimah, Pemimpin Redaksi
Femina, sejak tahun 2010 sudah melakukan pemetaan target pasar dari tiap media
yang diterbitkan untuk dijadikan landasan strategi konten Femina. Sehingga
terdapat perbedaan konten di berbagai platform tersebut. Contohnya
artikel di Femina versi cetak lebih bersifat mendalam, inspirasional, dan
meluas, sedangkan di femina.co.id lebih ringkas, lugas, dan praktis, serta
mengedepankan aktualitas (harus selalu up to date). Ada lagi konten
di akun Facebook, yang lebih banyak menampilkan life story, soal relationship,
sampai isu yang tengah menjadi tren.
Berbagai strategi terus dilancarkan oleh berbagai
media cetak tersebut demi terus mempertahankan brand-nya sebagai media
yang cukup berpengaruh, dan itu pun bukan berarti tantangan bakal mereda.
Tantangan nyata sebenarnya adalah menyinergikan semua bentuk medium itu, untuk
bisa maksimal melayani pembacanya, sekaligus juga menarik buat pengiklan.
Beberapa judul majalah cetak yang hingga saat ini
masih diadakan dan menjadi koleksi Perpusnas untuk hadir dalam upaya
memenuhi kebutuhan informasi pembacanya dapat dilihat pada tabel berikut.
No.
Judul
No.
Judul
No.
Judul
1
Asrinesia
13
Harper's Bazaar Indonesia
25
National Geographic Indonesia
2
Basis
14
Intisari Smart and inspiring
26
Peluang
3
Bloomberg businessweek
15
Indonesia Defense
27
Portonews
4
Bobo
16
Kuark: Level 1 kelas 1-2 SD
28
Poultry Indonesia
5
Bobo Junior
17
Kuark: Level 2 kelas 3-4 SD
29
Prestige Indonesia
6
Casa Indonesia
18
Kuark: Level 3 kelas 5-6 SD
30
Suara Hidayatullah
7
Cosmopolitan
19
Mangle
31
Swa
8
Da man
20
Marketeers
32
Tempo
9
Elle Indonesia
21
Media Asuransi
33
The Economist
10
Femina
22
Media Perkebunan
34
Trobos Aqua
11
Forum Keadilan
23
Mombi
35
Trobos livestock
12
Gatra
24
Mombi SD
Dari uraian yang telah disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa media cetak memang sudah kehilangan daya dan pamornya, namun
bendera putih seperti pantang dikibarkan oleh para pelaku media cetak tersebut.
Dengan berbagai usaha, mereka beradaptasi untuk tetap eksis di era digital ini.
Perpusnas, dalam hal ini sangat mengapresiasi dan mencatatkan upaya tersebut,
dengan terus melanjutkan mengadakan dan menjadikannya sebagai koleksi untuk
dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, Perpusnas
juga berperan dalam melestarikan seluruh terbitan media cetak, baik yang pernah
ada sampai akhirnya tutup ataupun yang masih terbit hingga saat ini, agar suatu
saat nanti generasi berikut tetap dapat memanfaatkan dan menggali informasi
dari media cetak tersebut.
12 August 2021
Penulis : Dwi Dian Nusantari
()
Editor : Dedy Junaedhi Laisa
()